Tatkala mendirikan Nike pada awal tahun 1960-an di Oregon, AS, Phil Knight, seorang atlet, dan pelatihanya, Bill Boweman bercita-cita suatu saat dapat
Gambar oleh Pexels dari Pixabay |
Bongkar Pasang Visi - Tatkala mendirikan Nike pada awal tahun 1960-an di Oregon, AS, Phil Knight, seorang atlet, dan pelatihanya, Bill Boweman bercita-cita suatu saat dapat menyaingi kedigdayaan dua raksasa produsen sepatu asal Jerman, Adidas dan Puma. Maka diciptakanlah visi mengalahkan Adidas (crush Adidas). Sebuah impian yang bagi kebanyakan orang nyaris mustahil diwujudkan mengingat saat itu Adidas telah menjadi merek internasional, memiliki pabrik-pabrik besar, dan telah berdiri selama hampir 50 tahun.
Ketika akhirnya berhasil mematahkan dominasi Adidas, visi "Crush Adidas" tidak lagi menarik. Namun Nike gagal menciptakan visi baru yang membuat perusahaan tetap mampu mempertahankan kejayaannya. Akibatnya, Nike dikalahkan oleh Reebok, pemain baru dalam industri sepatu asal Inggris pada tahun 1980-an. Menyadari hal ini, Nike kembali kepada ide awal visinya. Bukan: Crush Adidas". melainkan "Crush Reebok". Melalui visi barunya ini, Nike kembali berhasil meraih kejayaannya dalam industri sepatu pada tahun 1990-an. Namun kali ini Nike tidak mau terjebak kesalahan yang sama. Maka dikejarlah visi baru. Visi ini tidak lagi ditujukan untuk mengalahkan lawan tertentu, melainkan untuk memberikan yang terbaik bagi pelanggan. Saat ini, Nike memiliki visi, "To Bring Inspiration and Innovation to Every Athlete ini the World".
Mengapa Nike sampai harus beberapa kali berganti visi? Dalam kasus Nike, alasannya jelas: visi sebelumnya telah tercapai sehingga visi baru diperlukan. Meski demikian, visi organisasi atau perusahaan tetap bisa diganti di tengah jalan bila terdapat kondisi-kondisi tertentu, misalnya menurunnya kinerja organisasi, karyawan yang tidak lagi merasa bangga menjadi bagian dari organisasi, dan munculnya kecenderungan untuk menghindari resiko dan tanggung jawab. Dan yang paling sering terjadi visi diganti lantaran perubahan lingkungan. Kasus Deutsche Bank, bank asal Jerman, dapat menjadi contoh. Hingga awal 1990-an Deutsche Bank masih memiliki akar Jerman yang kuat. Hampir seluruh tim eksekutif dan manajer adalah orang Jerman. Sekitar 70% bisnis inti juga dilakukan di Jerman. Namun kemudian, hasil sebuah penelitian menunjukkan bahwa potensi pertumbuhan sektor perbankan di Jerman hanya 2%, sedangkan potensi di luar Jerman jauh lebih tinggi, lebih kurang 10%. Guna memaksimalkan potensi ini, Deutsche Bank harus bertransformasi dari pemain domestik menjadi pemain global dan dari fokus yang sempit menuju fokus yang luas. Khawatir menghadapi masalah di masa depan, CEO Deutsche Bank saat itu, Josef Ackerman, meluncurkan visi baru: One Bank Initiative.
Terlepas lama atau baru, sebuah visi haruslah menarik, menantang, dan dapat dipercaya. Inilah ciri-ciri visi yang bagus. Namun visi yang bagus belum tentu menjadi kenyataan. Ada faktor-faktor yang harus menjadi perhatian. Salah satunya keterlibatan karyawan. Kurang dilibatkannya karyawan membuat mereka cenderung apatis. Partisipasi bertujuan menanamkan rasa memiliki (sense of belonging) karyawan terhadap perusahaan. Bila rasa memiliki sudah tertanam, setiap orang pasti bersedia melakukan yang terbaik, mau berubah, siap menerima tantangan, lebih kreatif, dan lebih produktif.
Faktor berikutnya berkaitan dengan realitas. Sebuah visi memang harus menggambarkan kondisi yang diharapkan di masa depan. Meski demikian, visi tidak boleh mengabaikan realitas saat ini. Dengan kata lain, harapan harus seimbang dengan realitasnya.
Dukungan karyawan bertalenta tentu sangat membantu organisasi dalam mewujudkan visinya. Sayang sekali, masih banyak organisasi yang mengabaikannya. Masalahnya terletak pada masih belum optimalnya manajemen talenta dan terbatasnya talenta-talenta yang diperlukan.
Banyak organisasi mengalami kegagalan mewujudkan visi indahnya akibat maraknya pertarungan dan intrik-intrik politik. Setiap orang lebih mementingkan diri dan kelompoknya, sibuk mengejar kekuasaan dan sumber daya sehingga tidak peduli dengan kepentingan dan cita-cita organisasi. Untuk mengatasi hal ini, tak ayal lagi, dibutuhkan kepemimpinan yang efektif agar usaha-usaha mewujudkan visi organisasi tetap berada di jalur yang benar.
Jadi, bongkar pasang visi bukanlah barang haram, asal alasan yang kuat berdiri di belakangnya. Tentu saja yang lebih penting adalah usaha keras bersama-sama untuk mewujudkannya.
Sumber:
Himawan Wijanarko, Bongkar-Pasang Visi, GM Strategic Management, The Jakarta Consulting Group, dimuat dalam Majalah Sindo Weekly.
Susanto, AB. 2014. Manajemen Strategik Komperhensif Untuk Mahasiswa dan Praktisi. Jakarta: Erlangga.
KOMENTAR