Akhir-akhir ini saya melihat di timeline twitter cukup banyak teman-teman yang mengeluh karena berbagai hal.
Akhir-akhir ini saya melihat di timeline twitter cukup banyak teman-teman yang mengeluh karena berbagai hal. Ada yang karena sedang ujian, ada yang putus asa dengan cobaan hidup, dan ada yang malas pergi ke kantor. Semuanya seperti tanpa semangat.
Adversity Quotient - Sikap mental seperti inilah yang harus diubah! Bukankah Rasulullah SAW bersabda: "Mukmin yang kuat yang lebih baik dan lebih dicintai Allah SWT., daripada mukmin yang lemah dalam setiap amal kebaikan" (HR. Muslim). Untuk itu, kali ini saya ingin menuliskan mengenai kecerdasarn terbaru yang ada hubungannya untuk menjadi seseorang yang kuat serta tahan banting, yang sangat berdampak terhadap kesuksesan seseorang. Kecerdasan ini dinamakan Adversity Quotient.
Di awal abad 20-an, bentuk kecerdasan yang pertama adalah Intelligence Quotient (IQ). Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh Alfred Binet, seorang psikolog asal Prancis. Kemudian dikembangkan oleh Lewis Terman dari Standford Unviersity. Makanya mengapa nama lain dari test IQ adalah test Stanford-Binet. Orang banyak percaya bahwa kesuksesan atau kegagalan seseorang berasal dari IQ yang mereka miliki. Rumusnya, jika IQ tinggi maka sukses, dan jika IQ jongkok, maka gagal.
Seiring perkembangan zaman, ternyata teori ini meleset. Tidak selamanya orang bodoh itu akan gagal, dan sebaliknya, tidak selamanya bahwa orang dengan IQ tinggi akan sukses. IQ ternyata hanya menyumbang sekitar 20% dalam kesuksesan seseorang. Banyak orang pintar yang tidak bisa mengontrol emosi, berinteraksi secara sosial, serta mengerti dan memahami orang lain karena merasa dirinya yang palign hebat. Hal inilah yang mengakibatkan kegagalan bagi mereka.
Sementara itu, orang yang dengan IQ pas-pasan atau kurang, tapi dia memiliki kemampuan berinteraksi secara sosial dengan baik, memahami, dan mengerti perasaan orang lain dan mampu mengendalikan emosi. Karakter dan sifat inilah yang disenangi oleh banyak orang, dan akhirnya dia akan sukses. Inilah jenis kecerdasan terbaru yang ditemukan, yaitu Emotional Quotient (EQ).
EQ adalah jenis kecerdasan yang mampu untuk mengidentifikasi, mengelola serta mengendalikan emosi diri sendiri dan kemampuan untuk memahami kondisi orang lain. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Daniel Goleman pada tahun 1995 dalam bukunya "Emotional Intelligence".
Orang-orang yang memiliki EQ tinggi biasanya mudah bergaul dan memiliki banyak teman karena pandai dalam memahami dan menempatkan diri seolah-olah berada dalam posisi yang dirasakan orang lain. Istilah kerennya: "The ability to put yourself in other people's shoes!"
Setelah itu, ramailah sudah kombinasi antara IQ dan EQ untuk kesuksesan seseorang. Orang yang cerdas dan didukung dengan kemampuan emosi yang baik, hasilnya sukses. Hal ini memang terbukti ada benarnya. Namun, seiring berjalannya waktu, ternyata IQ dan EQ saja tidak cukup.
Orang yang memiliki IQ dan EQ yang bagus, namun dia tidak memiliki kontrol yang kuat atas apa yang dilakukan, maka hasilnya adalah kehancuran. COntohnya seperti Hitler dan Benyamin Netanyahu yang merasa sudah seperti Tuhan dan bertindak sewenang-wenang, membantai jutaan kaum manusia.
Kemudian ditemukanlah kecerdasan terbaru yang bernama Spiritual Quotient (SQ) yang diperkenalkan oleh Danah Zohar. SQ adalah kecerdasan yang mengarah kepada keyakinan dalam akan adanya hal lain di luar akal manusia dan berfungsi sebagai suatu kontrol atas apa yang dilakukan. SQ ini pula yang diajarkan oleh Ary Ginanjar Agustian, pendiri Emotional Spiritual Quotient (ESQ). Dalam beberapa masa, kombinasi dari tiga kecerdasan ini dirasa mampu untuk membawa seseorang kepada kesuksesan. Selesai sampai di sini? Ternyata tidak!
The time goes by. Kecerdasan IQ, EQ, dan SQ ternyata tidaklah cukup. Ada orang yang cerdas secara intelektual (IQ), pandai bergaul dan mengendalikan emosi (EQ) serta memiliki pemahaman mendalam atas agama yang dianutnya dengan baik (SQ), namun ternyata tetap gagal karena tidak kuat bertahan dalam iklim yang keras serta penuh persaingan. Mereka yang sanggup bertahan dan menaklukan segala tantangan adalah mereka yang memiliki suatu jenis kecerdasan terbaru yang bernama Adversity Quotient. Konsep ini diperkenalkan oleh Paul Stoltz, Ph.D.
AQ adalah kecerdasan yang diperoleh seseorang setelah mengalami kesusahan dan kegetiran hidup. Orang-orang yang memiliki kecerdasan AQ akan mengubah segala rintangan dan tantangan dalam hidupnya menjadi sebuah kesempatan.
Pada zaman dahulu, Nabi Muhammad SAW., adalah contoh manusia yang memilki tingkat kecerdasan AQ yang sangat tinggi. Rasulullah berjuang selama 23 tahun untuk menyebarkan ajaran agama Islam, tapi rintangan dan tantangan yang dihadapinya juga luar biasa besarnya. Cacian, makian, hinaan, bahkan ancaman pembunuhan sudah biasa seperti makanan sehari-hari. Tapi beliau terus berjuang tanpa mengenal lelah sampai akhirnya Islam berjaya. Mungkin kita akan berpikir, "Ya wajar Rasulullah memiliki tingkat AQ yang tinggi, namanya juga Nabi!"
Ternyata di zaman modern sekarang ini pun juga banyak contoh orang yang sukses karena kecerdasan AQ-nya. Salah satunya adalah Presiden Korea Selatan yang juga mantan CEO Hyundai, Lee Myung-Bak. Lee lahir di Osaka, Jepang, pada 19 Desember 1941. Sejak kecil, kemiskinan sangat dekat dengan dirinya karena ayahnya seorang petani dan ibunya penjual sayur. Lee menghabiskan masa kecilnya dengan berjualan es krim. Dia juga biasa memakan ampas dari perusahaan pembuat alkohol. Kasarnya, Lee terbiasa memakan sampah sehari-hari.
Meskipun sangat miskin, Lee punya tekad kuat untuk belajar. Untung saja otaknya encer sehingga bisa mendapat beasiswa di Korea Universit. Namun uang beasiswa yang didapat tidak cukup, dan Lee pun bekerja sebagai tukang sapu jalanan. Semasa di kampus, dia aktif di Dewan Kemahasiswaaan yang mengantarkannya kepada jeruji besi alias dipenjara karena memimpin aksi demo melawan pemerintah.
Setelah keluar dari penjara, Lee tobat dan mendaftar di Hyundai untuk bekerja di sana. pada awalnya Hyundai menolak karena statusnya yang seorang residivis. Lee tidak menyerah, lalu menulis surat langsung kepada Presiden Korsel saat itu agar diizinkan bekerja di Hyundai. Sekretaris Presiden yang membaca surat tersebut tersentuh, dan akhirnya menyuruh Hyundai agar menerima Lee. Diterima sebagai apa? Buruh pabrik.
Di perusahaan inilah kemampuannya terlihat. Karena sudah berpengalaman berdemo dan berantem, Lee mulai meraih kepercayaan ketika bisa mengatasi para bandit di proyek konstruksi. Hal ini menarik perhatian Chung Ju-yung, pendiri Hyundai, dan berkat rekomendasinya, makin melesatlah kariernya. Akhirnya, posisi tertinggi, CEO Hyundai berhasil diraih.
Puncaknya, pada tahun 2005 Lee Myung-bak terpilih menjadi Presiden Korea Selatan. Sangat luar biasa! Dari seorang anak petani yang miskin akhirnya menjadi orang nomor satu di suatu negara industri maju seperti Korea Selatan. Itulah mengapa Lee Myung-bak dijuluki sebagai "Bulldozer", yang tanpa ampun menghantam segala rintangan yang ada di depannya.
Dalam kehidupan pun seperti itu. Secara sederhana, kehidupan ini bisa diibaratkan sebagai pendakian gunung, di aman tujuan akhirnya adalah berhasil mencapai puncak. Paul Stoltz membagi manusia menjadi tiga dalam analogi mendaki gunung. Tipe pertama adalah Quitters atau mereka yang keluar dari pertarungan. Orang-orang ini mudah putus asa jika menemui rintangan, dan kemudian berhenti di tengah pendakian. Dalam kehidupan nyata, orang-orang seperti ini sangat pesimis dan mudah menyerah sehingga jauh dari kata sukses.
Tipe kedua adalah Campers atau mereka yang berkemah. Orang-orang ini berhenti di tengah jalan. Pendakian tidak selesai, tapi mereka merasa sudah berhasil meskipun belum sampai ke puncak. Tipe ini lebih baik dibanding tipe Quitters karena berhasil menyelesaikan beberapa tantangan meskipun tidak semuanya. Dalam kehidupan nyata, orang-orang seperti ini adalah yang cepat puas meskipun belum mencapai hasil yang maksimal dan masih tersimpan banyak potensi untuk bisa melangkah lebih jauh.
Tipe ketiga adalah Climbers atau mereka yang terus mendaki. Orang-orang ini selalu berpikiran positif, tidak pernah menyerah, terus melangkah dan berjuang sampai akhirnya mencapai puncak gunung. Dalam kehidupan nyata, orang-orang inilah yang terus bergerak maju dan melihat tantangan sebagai peluang. Jika rintangan adalah malapetaka bagi orang lain, maka bagi mereka adalah berkah, akrena itulah yang akan membawa mereka naik ke puncak. Inilah orang-orang yang akan sukses mengejar impian-impiannya.
Dalam kehidupan siapa pun, dari menteri keuangan sampai tukang becak, bisa dianalogikan sebagai mendaki gunung. Bagi mahasiswa, pendakian gunung mungkin terjadi saat menghadapi ujian. Bagi seorang pengusaha, pendakian gunung mungkin bisa terjadi saat usahanya sedang menurun. Bagi seorang karyawan, pendakian gunung bisa terjadi di saat ingin mencari tempat bekerja yang baru, dan sebagainya. Lalu pertanyaannya, di saat kita menghadapi rintangan, termasuk tipe apakah kita ini? Quitters, Campers atau Climbers? Semoga kita semua termasuk tipe Climbers sejati! Aamiin...
Sebagai penutup, ayat ke-5 dan 6 Al-Inshirah rasanya sangat pas: "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan."
Ayat ini selalu menjadi penyemangat di saat saya down atau menghadapi berbagai rintangan. Ayat yang sangat encouraging karena selalu memberikan semangat dan harapan bahwa di ujung tiap kesulitan yang dihadapi, pasti ada kemudahan. Selama kita terus berpikir positif dan tetap bergerak maju tanpa menyerah, maka segala macam rintangan akan mudah dilalui, dan kesuksesan hanya tinggal menunggu waktu.
Jangan lah takut akan kegetiran hidup yang dialami. Tidak ada orang yang luar biasa di dunia ini, yang ada hanyalah tantangan luar biasa yang dapat diatasi oleh orang biasa!
Assad, Muhammad. 2011. Notes From Qatar Limited Edition. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
KOMENTAR